SENTIL DALANG – kelirbali.com
oleh Gita – pembelajar politik. Kedatangan Penjabat Bupati I Nyoman Jendrika di Kabupaten Klungkung Bali jelang akhir Tahun 2023 lalu, digadang-gadang membawa banyak solusi atas berbagai persoalan di Bumi Serombotan. Sepeninggal kepemimpinan Nyoman Suwirta sesungguhnya mewariskan banyak persoalan. Kondisi ini menyebabkan karut marut.
Banyak masalah sesunggunhya belum terselesaikan, yang mana Suwirta sendiri sebagai pemimpin tidak lebih aktif di pencitraan. Nah, Nyoman Jendrika sebagai pengganti. Masyarakat Klungkung menaruh harapan yang tinggi, termasuk menuntaskan masalah hukum. Namun sayang, ternyata setelah hampir tiga bulan menjabat dan melihat sepak terjangnya di Klungkung, Jendrika ibarat hanya sekadar jadi Ogoh-ogoh. Keberadaannya hanya untuk “diarak” ke acara-acara seremonial pemerintah daerah.
Dia menjadi kepala daerah memang dengan kepala kosong. Tak tahu harus berbuat apa saat ditugaskan tiba-tiba ke daerah seperti Klungkung. Pun tugas dari pemerintah pusat hanya 4, stabilisasi harga, angkutan ke Nusa Penida, sampah dan keamanan Pemilu-Pilkada. Satu yang berhasil adalah pengamanan pemilu, karena banyak pihak yang terlibat.
Situasi tidak berdaya ini pun berhasil dimanfaatkan oleh ASN loyalis Suwirta, para pengaraknya, untuk melayani Jendrika layaknya melayani Suwirta. Maka yang terlihat dalam kegiatannya sehari-hari, sangat persis dengan perilaku Suwirta ketika masih menjabat. Menyerahkan bantuan, menyerahkan pitra bakti, menyerahkan akta perkawinan, peresmian proyek dan menerima berbagai audiensi masyarakat tertentu. Rilis bahasa publiknya juga sama persis; akan diperjuangkan, diupayakan, yang ujung-ujungnya semua itu hanya bahasa janji. Tidak bisa ditagih realisasinya.
Sekali lagi Jendrika hanyalah ogoh-ogoh, dimana para ASN loyalis Suwirta sebagai pengaraknya. Warga Klungkung tak bisa berharap lebih darinya. Meski penugasannya dibekali berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat toh dia juga tak berani menggunakan kewenangannya. Semacam melakukan mutasi pejabat sepanjang mendapatkan rekomendasi dari Kemendagri. Melihat kiprah Jendrika yang sangat normatif ini para pejabat di Klungkung tak menaruh rasa hormat kepadanya.
Terbukti dari berbagai pemberitaan media massa beberapa pejabat tak mau menuruti perintahnya. Contoh paling nyata adalah penanganan kebakaran TPA Sente. TPA itu kini dibiarkan begitu saja terbakar sampai asap pekat membuat tak nyaman warga sekitar. Para pejabat ini tidak ada kontrol, sehingga terjadi saling lempar tanggung jawab.
Sesungguhnya Jendrika ini dikirim oleh pemerintah pusat ke Klungkung, tentu dengan ekspektasi tinggi. Sejalan dengan itu, warga Klungkung juga sangat berharap banyak dengan tangan dingin seorang pejabat pusat, dalam menyelesaikan masalah pelik di daerah. Karena hampir sepuluh tahun Suwirta dan Made Kasta menjabat sebagai bupati dan wakil bupati, sudah tidak mampu menyelesaikan banyak persoalan pada akhir masa jabatannya.
Mulai dari krisis air, masalah infrastruktur, masalah krisis pangan, kebocoran pendapatan daerah, merosotnya disiplin pegawai, utak-utik APBD untuk kepentingan politik, polemik retribusi Pasar Tematik Semarapura, sampai pada masalah terkini dan urgen, yaitu masalah pengelolaan sampah hingga kebakaran TPA Sente. Dua bulan kelihat sepak terjangnya, tak satu pun masalah pelik daerah itu mampu dia selesaikan.
Jendrika hanya terlihat sibuk mondar-mandir pakai perjalanan dinas ke pusat. Persis seperti gaya pencitraan pendahulunya I Nyoman Suwirta. Masyarakat Klungkung sangat paham, bahwa hasil perjalanan dinas seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah sosial masyarakat.
Obrolan antar warga pun berkesimpulan bahwa Jendrika ini tak lebih hanya sekadar figuran pemerintah pusat yang dipajang di Klungkung. Karena dia sama sekali tidak mampu menyelesaikan masalah publik.
Lalu apa gunanya menaruh penjabat bupati kalau faktanya tidak mampu mengambil peran. Mungkinkah Kementerian Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap kinerja Jendrika ini. Agar sentimen negatif masyarakat Klungkung tidak semakin tinggi terhadap penjabat kepala daerahnya.
Atau menunggu pemimpin selanjutnya hasil Pilkada. Beban dipundak berat, dalam istilah Bali, “Nampedang umah suba uwug.” (mewarisi bangunan sudah rusak.(den)