Melihat Negeri Bahari Kita, Kemajuan atau Kemunduran?

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL DALANG – kelirbali.com

oleh Demy – penulis Jalanan. Ketika akan menyeberang ke Nusa Penida lewat Pantai Kusamba, tepatnya di Pelabuhan Tri Buana dan penyeberangan lain di pesisir Kusamba pandangan mata tertuju pada buruh angkut pelabuhan.

Melihat kondisi tersebut, dengan jelas akan terlihat betapa jauh tertinggalnya teknologi atau kemauan untuk naik kelas untuk angkutan komoditi barang ke Nusa Penida.

Sejak dini hari, selain nelayan mengadu peruntungan di laut lepas antara Nusa Penida – Bali akan terlihat buruh angkut pelabuhan menaikkan barang ke perahu /boat kecil. Yang bahkan, material bahan bangunan mulai dari pasir, keramik, atap genteng juga terangkut dari boat tersebut. Sedangkan bahan Sembako juga ikut terangkut ke seberang, mulai dari beras, sayur, pisang termasuk air minum.

Yang menjadi perhatian adalah betapa jauh tertinggalnya teknologi bahari yang dimiliki. Negeri yang dikelilingi lautan atau dengan sebutan bangsa bahari, namun cermin kejayaan bahari tidak tampak sama sekali. Apakah tidak terpikirkan membuat pelabuhan lebih besar, untuk menyandarkan barge atau ponton, sehingga daya angkut material dan sembako lebih banyak dan biaya angkut menjadi lebih murah.

Sebut saja satu truk pasir di Bali daratan dengan harga Rp 1,6 juta per satu truk, sampai di Nusa Penida harganya bisa mencapai Rp 5 juta lebih. Begitu juga dengan gas melon 3 kg, yang di Bali dengan harga Rp 20.000/tabung, di seberang sana bisa mencapai Rp 30.000/tabung. Termasuk aqua galon, yang di Bali dengan harga Rp 18.000/galon, di sana terjual sedikitnya dengan harga Rp 30.000/galon atau bisa lebih.

Kondisi ini membuat masyarakat di Nusa Penida tidak bisa menikmati harga yang sama dengan saudaranya di Bali. Yang artinya biasa yang dikeluarkan untuk menopang kehidupan sehari-hari harus dibayar dengan harga lebih mahal. Lalu, dari Bali daratan berharap masyarakat di seberang bisa survive, yang padahal segala sesuatunya dibayar lebih mahal.

Kondisi tersebut diperparah dengan mampatnya Pemkab Klungkung memikirkan angkutan laut dari Klungkung ke Nusa Penida. Sekali pun memiliki satu kapal Roro, hal ini tidak menjawab seluruh persoalan terhadap moda angkutan laut. Pemerintah pasti tahu dengan betul bahwa kondisi itu ada dan dilihat setiap saat. Hanya saja terjadi pembiaran, seolah pandangan itu adalah pandangan keseharian yang biasa. Roro sampai saat ini masih menyandang sebagai kapal perintis, dan pemerintah enggan menaikkan statusnya sebagai kapal angkutan mandiri.

Kondisi ini membuat dana pemerintah tiap tahun terus dikucurkan untuk mensubsidi kapal Roro. Kondisi ini sepertinya sengaja dibuat tidak berdaya dan melihat hal yang terjadi adalah persoalan biasa. Yang sejatinya, bila ada dua kapal angkutan dan satu kapal barang, maka biaya hidup yang ditanggung masyarakat di seberang sana lebih murah. Sedangkan kelebihan atas biaya hidup tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan lain.

Dengan melihat persoalan Bali – Nusa Penida sebagai warisan budaya bahari, maka tidak sulit rasanya memikirkan agar angkutan laut tersebut naik kelas. Banyak perusahaan angkutan laut swasta yang bersedia mengangkut penumpang dan barang dari Nusa Penida ke Padang Bay.

Hanya saja persoalannya kembali kepada pemerintah. Selalu berlindung di balik regulasi, administrasi berbelit, sengaja dibuat susah padahal jelas-jelas masyarakatnya kesusahan dari tahun ke tahun. Teknologi tersedia di depan mata dan ada.

Yang tidak kalah memalukannya adalah, dengan tebal muka pemerintah memungut berbagai retribusi terhadap masyarakat di seberang. Bila mau jujur, maka retribusi atau retribusi yang dipungut jauh lebih murah. Hal ini sebagai kompensasi atas mahalnya harga yang kebutuhan pokok yang mereka bayarkan.

Pernah terbetik cita-cita, Nusa Penida menikmati harga yang sama dengan saudaranya di Klungkung daratan. Cita-cita ini kandas, mimpi. Selama angkutan laut tidak dibenahi atau naik kelas setidaknya satu oktaf, maka satu harga itu hanya cita-cita yang bungkus retorika semu.

Maka, membiarkan orang kesusahan adalah dosa dan pemerintah yang membiarkan semua itu terjadi adalah dosa besar.(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…