Agama dan Hilangnya Rasa Keindahan

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL DALANG – kelirbali.com

oleh: IGA Paramita, Dosen Filsafat UNHI.  Publik sempat kaget, ketika ada pernyataan musuh besar Pancasila adalah agama. Pertanyaannya pasti sederhana, mengapa demikian? Bukankah di dalam Pancasila sendiri terdapat salah satu dimensi agama: Ketuhanan. Atau mungkin malah persoalannya di sini.

Jika ada yang berpikir demikian, saya ingin berpikir lain. Selama ini yang hilang dari agama adalah puisi: rasa keindahan. Agama terlalu hadir dengan wajah yang sangat doktrinal, dengan para pengikut yang sensitif, pemarah, mudah nesu.

Banyak dimensi dalam agama, namun ia kehilangan dimensi sastrawi. Agama kehilangan puisi; rasa keindahan itu sendiri. Agama memerlukan para penyair, para sastrawan untuk menghaluskan dirinya. Agama terlalu sesak oleh pengkotbah yang sibuk membangun candi moral. Agama memerlukan candi bahasa yang dibangun oleh para penyair, para sastrawan.

Kita ketahui bersama, dalam dunia kakawin ada mata rantai antara agama dan puisi. Pesan-pesan moral agama disampaikan dengan cara-cara yang puitis. Tidak salah jika Begawan Jawa Kuna P.J. Zoetmulder pada awal tahun 1954 menulis makalah tentang ‘The Old Javanese Poet as Yogi’ di dalam International Congress of Orientalists held in Cambridge.

Pada tahun 1955 ia menerbitkan artikel berbahasa Indonesia dengan judul ‘Kawi dan Kekawin’ di Yogyakarta. Apa yang ingin disampaikan Zoetmulder adalah para penyair juga seorang Yogin. Jika kunci agama adalah rasa, maka agama memerlukan seorang penyair untuk menghidupkan rasa itu.

Satu elemen mendasar di dalam puisi adalah apa yang disebut Rasa. Ananda K. Coomaraswamy dalam The Dance of Shiva dan The Transformation of Nature in Art membagi tiga jenis rasa itu yakni rasavant ‘memiliki rasa,’ rasika, ia yang menikmati rasa, penilai rasa atau pecinta, dan akhirnya rasasvadana, merasakan rasa, maksudnya kontemplasi estetis. Di titik ini agama memerlukan kontemplasi estetis itu. Atau bahkan, agama sudah tak menyisakan ruang-ruang kontemplasi tersebut.
Padahal agama dan seni adalah nama-nama untuk satu pengalaman yang sama. Tentu saja ini bukan eksklusif pandangan Hindu: pandangan ini telah diuraikan secara terinci oleh banyak yang lain, seperti Neoplatonis, Hsieh Ho, Goethe, Blake, Schopenhauer dan Schiller. Mengapa agama memerlukan penyair, para seniman?

Penyair mampu menghidupkan rasa keindahan di dalam tubuh agama. Cinta adalah realitas yang dialami oleh pecinta, dan kebenaran adalah realitas seperti dialami oleh filosof, demikian juga keindahan adalah realitas yang dialami oleh seniman.

Agar tidak kehilangan rasa keindahan, agama selalu memerlukan puisi untuk menghidupkan rasa keindahan itu. Inilah yang hilang dari agama. Para pengkotbah mencabutnya dari dalam. Semoga kita bukan salah satu pengkotbah itu.(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…